Tuesday, February 17, 2015

CATATAN PAGI 17 FEBRUARI 2015

Lentera seperti biasa bangun sekitar jam 5 pagi.  Udara dingin masih membekap kamar kami.   Dia aktif sendiri, mulai menengok-nengok wajah ibu nya yang masih tidur-tidur ayam setelah subuh.  Lentera masih belum tega membangunkan paksa ibundanya.
Akhir-akhir ini suasana hujan kerap menaungi pagi hari, membuat Lentera tidak bisa menikmati Paman Matahari-nya.  Demikian juga pagi ini – Senin, 16 Februari 2015.  Suasana rintik-rintik dan awan mendung masing menaungi kawasan Halim – daerah kami tinggal, membawa suasana hati yang kelabu pula.  Tapi sebenarnya bukan karena faktor cuaca, akan tetapi karena tayangan televisi yang menyedihkan.

Setelah latihan fisik Lentera: jalan hilir mudik rumah dengan kereta dorongnya, dan juga makan paginya, akhirnya Lentera terlelap tidur pagi.  Biasanya setelah Lentera tertidur, saya segera bergegas siap-siap berangkat ke markas Imaji Bumi.  Tetapi pagi itu saya tertahan oleh tayangan langsung pembacaan keputusan sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan – sebuah kasus yang telah berlangsung beberapa minggu yang menyeret perhatian saya.  Komjen Budi Gunawan yang merupakan calon Kapolri yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo, ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka korupsi.  Detil akan sangkaan ini lumayan panjang lebar juga, saya tidak akan bahas.
Putusan hakim sidang praperadilan yang memenangkan Komjen Budi Gunawan karena alasan dia yang seorang polisi bukanlah “penegak hukum” dan bukan pula pejabar Negara, sehingga penyelidikan KPK tidak memiliki landasan hukum – itu sangat absurd.  Belum lagi pertimbangan bahwa gratifikasi alias sogok-menyogok tidaklah menyebabkan kerugian Negara, sehingga KPK tidak bisa mengusut hal itu, I can’t express my feeling here with words.

Setelah pembacaan putusan itu usai, saya pun berangkat ke Imaji Bumi.  Pikiran saya melayang jauh:  Bagaimana saya & Anti akan membesarkan Lentera.  Harapan akan adanya perubahan di negeri ini, seakan pupus oleh keputusan Presiden RI untuk membiarkan hal ini dan langkah-langkah picisan para politisi dan aparat hukum itu.  Kami tidak ingin Lentera besar dengan menerima bahwa hal-hal seperti menyogok untuk mendapatkan keinginan kita itu adalah wajar; atau juga jalanan Jakarta macet itu memang normal.  Kewarasan yang makin hari makin sulit didapatkan di Indonesia.  Saya dan Anti juga sepakat bahwa kami tidak akan mengeluarkan komentar-komentar stigma kepada Lentera, seperti “wah, tuh polisi lagi cari setoran tuh”, ketika melihat seseorang sedang ditilang.  Atau melarang Lentera berkeinginan masuk Fakultas Hukum dengan alasan petugas hukum itu tidak berkah, seperti yang kakak saya lakukan kepada putrinya.  Atau menjatuhkan semangat Lentera akan berwiraswasta karena dia bukanlah anak pejabat atau orang kaya, sehingga tidak mungkin mendapatkan pinjaman tanpa anggunan bermilyar-milyar rupiah, seperti anak Komjen Budi Gunawan itu.  Kami tidak ingin hal itu terjadi.  Tapi penanaman nilai, tetap memerlukan dukungan lingkungan sekitar kita.  Saya berpikir keras akan bagaimana cara menanamkan nilai integritas, kejujuran, dan kerja keras kepada Lentera nanti – sementara situasi negerinya secara vulgar menunjukkan hal yang sebaliknya.

Lalu, apakah berdoa “aku berlindung kepada Allah SWT dari godaan setan yang terkutuk” sudah cukup?

Wednesday, January 29, 2014


Catatan 2013

            Better late then never.  Mumpung masih di bulan Januari.   
            Tahun 2013 buat saya yang bercita-cita menjadi fotografer & videografer bawah laut adalah tahun yang lumayan bagus.  Imaji Bumi dipercaya untuk mengerjakan beberapa proyek bawah air – suatu hal yang sangat berharga. 

Sumbawa Barat
Tahun 2013 diawali dengan permintaan Kementrian Kelautan & Perikanan (KKP) RI untuk membuatkan profil potensi berinvestasi di pulau-pulau kecil di Indonesia.  Sebagai awal adalah kawasan Sumbawa Barat.  Sumbawa Barat adalah kabupaten baru, hasil pemekaran Kab. Sumbawa.  Tentunya sebagaimana umumnya kabupaten pemekaran, pasti ada sumber Pendapatan Asli Daerah yang menggiurkan untuk dinikmati sendiri oleh daerah itu.  Pada kasus Sumbawa Barat, sumber menggiurkan itu bernama PT Newmont Nusa Tenggara – sebuah perusahaan tambang emas dari Amerika Serikat.  Namun tentunya saya tidaklah membuat rekaman visual akan dunia pertambangan di kabupaten baru ini.  Tapi saya merekam sebuah gugusan pulau-pulau kecil yang biasa disebut gili di ujung barat sebelah utara dari P. Sumbawa. 
Gili ini bernama Gili Balu – yang berarti harviah sebagai pulau kecil ‘delapan’.  Seperti namanya gugusan pulau kecil ini terdiri dari delapan pulau.  Pulau-pulau ini masih sangat alami, minim akan sentuhan manusia – kawasan yang sangat fotogenik.  Yang paling terkenal mungkin adalah Pulau Kenawa.  Ada pula P. Kalong, P. Paserang, P. Namo, P. Belang, P. Kambing, P. Mandiki, dan P. Ular. 
Di Sumbawa Barat, belum ada dive centre.  Jadi kita harus membawa semua hal yang kita butuhkan untuk menyelam dari Mataram – terutama tabung selam!!  Tidak ada compressor di sini.  Baik saya maupun pihak KKP tidak mengetahui orang yang sudah mengetahui dive site di kawasan ini, akhirnya saya menghubungi bang Marthen Welly – seorang marine biologist yang lama bertugas di Labuhan Bajo.  Bang Marthen kemudian menghubungkan saya dengan Rinjani Diving Club di Mataram.  Mereka sudah terbiasa menjelajahi perairan Nusa Tenggara Barat untuk keperluan ilmiah.  Agak-agak cocok dengan saya.
Dive master dan berperan juga sebagai dive guide saya adalah pak Soel.  Beliau adalah instruktur POSSI-CMAS.  Tapi pak Soel datang ke saya menuju Sumbawa Barat dengan bayangan akan melakukan scientific diving. Jadi dia kaget juga ketika saya brief untuk melakukan penyelaman underwater video shooting.  But it was alright, kecuali di beberapa moment dimana dia meninggalkan saya sendirian di bawah air.  Kacau juga nih pak Soel. Ha ha..
Saya menyelam pula bersama rekan dari KKP – Arif Miftahul Aziz & Suprianto.  Aziz adalah kakak kelas saya di IPB dulu.  Satu tahun di atas.  Jadi dia lebih seperti teman saya.  Setelah beberapa tahun yang lalu saya terakhir bertemu Aziz di Jerman, saya mendapati Aziz di Sumbawa Barat ini sama seperti pada tahun-tahun kami belajar di universitas dulu – Aziz yang hiperaktif.  Dia sangat bersemangat.  Senang saya melihat teman PNS saya masih memiliki hasrat dalam bekerja.  Tingkah polah Aziz di bawah air membuat perjalanan produksi ini penuh dengan kegembiraan.  Ketika nelayan local menunjukkan tempat yang katanya berarus kencang dan sering terlihat hiu, kami malah bersemangat layaknya anak kecil menuju ke lokasi tersebut.  Tak lama kemudian, kami pun ber-roller-coaster ria di bawah sana.  Dan Aziz tetap dengan busana selamnya di kampus dulu:  celana ¾ dan kaos oblong.  Ha ha..
Beda Aziz, beda pula dengan Suprianto.  Staf Aziz ini adalah lulusan dari Sekolah Tinggi Perikanan.  Ku pikir dia adalah certified diver, karena memang kemampuan menyelamnya sudah cukup nyaman.  Ternyata dia belumlah tersertifikasi.  Wah, kacau lagi nih.  Tapi Supri cukup bagus kok.  Alhamdulillah penyelaman-penyelaman kami berlangsung aman dan sehat.
            Anyway, video profile potensi investasi pulau-pulau kecil di Sumbawa Barat bisa ditonton di sini.
Oh ya, video project dengan KKP ini sebenarnya juga meliputi kawasan Nusa Kambangan.  Tapi since di Nusa Kambangan tidak ada dive site, karena di sana perairannya beda karakter, jadi lah video Nusa Kambangan tanpa shot bawah air.  Tapi kalau ingin melihat video nya, bisa ditonton di sini.

IUU Fishing
            Desember 2012, saya mendapatkan telepon yang mengejutkan dari Kedutaan Besar Australia di Jakarta.  Rupanya proposal saya dari tahun 2008, baru sekarang (2013) akan diwujudkan.  Sebuah film dokumenter akan Illegal, Unregulated, & Unreported (IUU) Fisheries.  Saya bertemu dengan tim dari Department of Agriculture, Forestry & Fisheries Australia di Kedutaan Australia.  Kami diskusikan lagi konsep videonya.  Akhirnya kami sepakat untuk mengangkat kisah-kisah inspiratif dalam mengelola alam sehingga meminimalisasi kegiatan IUU yang merusak di daerah mereka.  Cocok dengan gaya saya yang selalu ingin video saya bernuansa positif.
Dari diskusi itu, kami sepakat ingin mengangkat kisah akan ekowisata, responsible fisheries, dan juga kearifan local.
            Setelah melakukan riset, kami akan membuat kisah akan ekowisata di Pemuteran (Bali) – tempat saya dulu melakukan penelitian untuk skripsi, responsible fisheries di Wakatobi, dan juga hukum adat Sasi di Raja Ampat.
            Dari Desa Pemuteran, kami mengangkat kisah restorasi terumbu karang yang dilakukan masyarakatnya dengan swadaya.  Saya menghubungi Komang Astika – teman lama saya yang sekarang menjadi manajer pelestarian karang Pemuteran.  Komang meng-update saya akan perkembangan Biorock di Pemuteran.  Sekarang sudah lebih dari 80 buah struktur, jauh lebih banyak dari waktu saya melakukan penelitian di sana.  Saya pun berjumpa bu Rani Morrow-Wuigk dan pak Agung Prana – dua orang inisiator & penggerak konservasi di Pemuteran.  Bu Rani kemudian membantu saya dalam underwater shoot di sana, sedangkan pak Prana menjadi salah satu narasumber kunci kami untuk video ini.
            Untuk kisah sukses akan responsible fisheries, kami mengangkat kegiatan perikana UD Pulau Mas, yang bermarkas di Bali, namun beroperasi di 18 Provinsi di Indonesia.  Saya diperkenalkan dengan pemilik UD Pulau Mas – Heru Purnomo oleh teman saya yang bekerja di WWF.   Pak Heru sangat supportive akan project ini.  Kami tertarik untuk mengangkat cerita akan kelompok nelayan Bajo di Wakatobi.  Suku Bajo dikenal sebagai perusak terumbu karang di kawasan laut Sulawesi dan sekitarnya.  Sebuah reputasi yang menyedihkan, mengingat mereka adalah sea gypsy satu-satunya di dunia yang masih ada.  Nelayan Bajo di kampung Mola Utara ini, menangkap ikan kerapu – yang notabene adalah ikan karang, dengan alat pancing saja.  Memang hasil tangkapannya tidak sebanyak bila menggunakan bom atau potas, tapi harga premium yang diberikan, membuat nelayan Bajo ini memilih cara ini.  Sebuah logika yang sangat masuk akal, tapi herannya kok sepertinya tidak terpikirkan oleh banyak orang.  Saya belajar banyak dari pak Heru ini.
            Di Wakatobi kami dibantu oleh teman-teman Sekretariat Bersama WWF-TNC Wakatobi.  Kami menyelam dengan pak Sugiyanta – koordinator Wakatobi.  Ohya, dive master kami adalah pak Laode Orba – ranger Taman Nasional Wakatobi yang juga instruktur selam.  Peralatan selam didukung oleh Mawaddah Dive Center.  Cuaca Wakatobi di saat produksi kami di sana kurang mendukung – hujan setiap saat.  Rekan saya yang bertugas shooting darat - Aryanav merasa frustasi.  Ha ha..  Saya ralat: Aryanav tidak pernah frustasi, dia pusing aja karena tidak mendapatkan gambar yang diinginkan.  Tapi teman menyelam saya – Anda selalu mengungkapkan kekuatan positive tinking.  Dan dia benar. Di kala sinar mentari sedikit mengintip, tim darat langsung merangkul kesempatan syuting.  Sementara bagi kami yang menyelam, ternyata cuaca mendung & hujan malah memberikan peluang buat mengontrol pencahayaan di bawah air.  Shot kami jadi benar-benar terasa photographic. 
            Di Raja Ampat, kami pergi ke Pulau Kofiau.  Kebetulan di sana akan dilaksanakan upacara tutup Sasi.  Sasi adalah hukum adat yang berlaku di kawasan timur Indonesia, dimana mereka menutup sebagian kecil kawasan mereka dari kegiatan eksploitatif.  Sebuah konsep konservasi yang telah berlangsung dari zaman nenek moyang mereka. 
            Raja Ampat jangan dibayangkan sebagai kawasan yang kecil.  Raja Ampat sangatlah luas.  Raja Ampat terbentang dari utara (dekat dekat Ternate), hingga ke selatan (dekat dengan P. Seram).  Nah kali ini kami mengawali dengan pergi ke Waisai untuk mendapatkan stock gambar bawah air yang cantik dari Raja Ampat.  Tidak semua kawasan Raja Ampat yang merupakan surga bawah air.  Justru kebalikannya:  sebagian besar wilayahnya sudah hancur.  Hanya sebagian kecil wilayahnya yang memang masih dalam kondisi baik.  Sangat baik.  Karena memang kawasan ini ditakdirkan sebagai tempat yang kaya akan keanekaragaman hayati laut.  Saya kembali ditemani oleh Jacky dari Waisai Dive Resor.  Jacky adalah dive guide saya ketika melakukan penelitian di Raja Ampat sekitar 3 tahun lalu bersama rekan-rekan Terangi.  Jacky membawa saya ke titik-titik penyelaman yang merupakan tempat untuk mengambil daftar stock shot saya.  Memang beda ya, menyelam dengan guide professional – mereka sudah tahu seluk-beluk kawasannya dengan sangat baik.  Kami bertemu dengan sebagian besar kebutuhan gambar saya.  Pari Manta saja yang absen di lokasi janjian kita
            Setelah mendapatkan stok gambar cantik dari Raja Ampat, baru kami meluncur menuju P. Kofiau.  Sebenarnya Sasi sempat “mati” di kawasan ini.  Namun, The Nature Conservancy melihat bahwa hukum adat ini sejatinya sesuai dengan prinsip konservasi modern.  Mereka kemudian memulai menghidupkan kembali hukum adat ini – salah satunya adalah di P. Kofiau. 
            Di Papua, wilayah laut bukanlah daerah bebas akses – tetapi daerah yang bertuan.  Wilayah-wilayah laut tertentu dimiliki oleh klan-klan keluarga tertentu pula.  Salah satu klan keluarga di P. Kofiau akan menutup sebagian kecil lautnya untuk di-Sasi.  Kami pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.  Di sana kami ditemani oleh mas Purwanto – coordinator untuk kawasan kepala burung Papua TNC dan juga oleh Aryo Handono – manajer komunikasi TNC di kepala burung Papua.  Mereka semua sangat semangat dalam melakukan pekerjaannya.  Iri juga saya melihatnya. J
            Setelah merekam prosesi tutup Sasi di Kofiau, tidak lama kemudian Aryo datang dengan informasi bahwa di Misool akan ada upacara buka Sasi.  Kesempatan yang juga langka.  Di upacara ini lah kita akan melihat seberapa efektifnya penutupan suatu kawasan dari kegiatan eksploitasi.  Tim kami pun kembali ke Raja Ampat.  Kali ini ke ujung selatan Raja Ampat.  Video buka Sasi di Misool bisa ditonton di sini.
            Video akan IUU Fishing ini belum lah final.  Kondisi hubungan bilateral antara pemerintah Australia dan Republik Indonesia turut mempengaruhi video ini.  Mari kita lihat saja kelanjutannya.
Tapi untuk bocoran, draft-nya bisa ditonton di sini.

Sea Delight’s Video
            Pembuatan film dokumenter tentang IUU Fishing itu membawa kita bersinggungan dengan teman-teman di WWF, dimana mereka memiliki sebuah program yang bernama Seafood Saver.  Program yang menarik.  Setelah hampir semua pihak bergerak di tataran grass root, dalam hal ini berarti adalah nelayan, sekarang mereka bergerak di tataran para pelaku bisnis – para perusahaan perikanan.  WWF meyakinkan mereka bahwa bila mereka melakukan bisnis mereka dengan cara yang ramah lingkungan, hal itu akan memberikan mereka keuntungan yang lebih besar dan tentunya lebih “berkelanjutan” pula. 
            Salah satu perusahaan yang bergabung ke dalam program ini adalah Sea Delight – sebuah perusahaan importir ikan dari Amerika Serikat.  Mereka membeli ikan kerapu & kakap dari Luwuk (Sulawesi Tengah) serta ikan Tuna dari Alor (Nusa Tenggara Timur).
            Luwuk merupakan salah satu pintu masuk ke kawasan Sulawesi Tengah.  Di sebelah utara ‘potongan’ pulau Sulawesi ini, terbentang Teluk Tomini – dimana di dalamnya terdapat kepulauan kecil bernama Togean.  Sebenarnya Togean merupakan Taman Nasional, tetapi status ini ditolak oleh masyarakatnya sehingga keberadaannya hampir bisa dikatakan tidak terasa.  Aneh, tapi acap kali terjadi di Indonesia.
            Di kawasan ini, destructive fishing  seperti bom ikan & penggunaan sianida terjadi dalam skala massive.  Belajar dari apa yang terjadi di Jawa Timur, Sea Delight mempromosikan penangkapan ramah lingkungan di daerah ini.  Harga premium – kembali menjadi formulasi ajaib.  Sedikit demi sedikit, hal ini mulai bisa diterima oleh kelompok nelayan di kawasan ini.  Video tentang upaya memerangi destuctuve fishing di Luwuk bisa ditonton di sini
            Di Luwuk, kami membagi dua tim – tim darat & tim bawah air.  Tim darat diperkuat oleh Aryanav – produser andalan Imaji Bumi, dan juga Panji Wijaya – sahabat dan juga cameraperson berbahaya.  Mereka mengamankan jalan cerita utama dari kisah ini.  Mereka meliput kegiatan di pabrik pengemasan ikan, kampung nelayan, serta mengikuti alor pengeboman ikan.  Cadas memang bagian mereka.  Mereka lah yang membentuk cerita dari video ini.
Sementara tim bawah air, terdiri dari saya seorang.  Sendirian saja.  Fiuhh…
Di sini saya menyelam bersama dengan Black Marlin Dive Resor.  Alhamdulillah saya mendapatkan sambutan yang hangat dari crew & juga para tamu resor ini.  Saya adalah satu-satunya orang Indonesia yang menjadi tamu resor pada saat itu.  Ajaib!  Di negeri sendiri, tapi saya harus berbahasa asing.
            Black Marlin dimiliki dan dijalani oleh Crispin – seorang bule Inggris yang telah tinggal di sana dari tahun 80-an.  Dia menikah dengan gadis Togean, dan kemudian tinggal di sana secara permanen.  Sampai akhirnya anak mereka memasuki usia pendidikan SD, akhirnya Crispin membawa keluarganya untuk tinggal di Bali – hanya untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas baik.  Sedih juga mendengar kisah Crispin.  Awalnya dia membawa anaknya untuk bersekolah di Gorontalo, tapi dia mendapati pendidikan di sana kurang memuaskan standar baku dirinya.  Lalu dia membawa anaknya untuk bersekolah di Makassar, masih kurang bagus juga.  Baru akhirnya dia menyekolahkan anaknya di Bali.  Saya tidak tahu akan detil lebih jauh bagaimana Crispin menilai kualitas pendidikan di setiap tempat, tapi yang pasti memang kualitas pendidikan di Indonesia belum lah merata.  Pekerjaan rumah bagi kita semua untuk bisa membuat pendidikan kita pada level yang sama di seluruh wilayah NKRI ini.
            Anyway,
            Di Togean ini saya menyelam bersama para turis lainnya.  Waktu itu adalah high season di Togean.  Jadi kapal & alat selam menjadi sangat terbatas.  Tapi tidak mengapa, saya jadi bisa mengobrol dengan lebih banyak orang.  Daripada bengong sendirian.
Hal yang sama terjadi juga di Alor.  Saya terpaksa menyelam dengan para turis.  Alhasil, gambar saya selalu “bocor” dengan keberadaan para penyelam ini.  Sulit untuk mendapatkan adegan dimana para ikan berenang-renang tanpa ditemanin manusia – kondisi normal mereka.
            Perihal perikanan di Alor, nelayan Alor memang secara tradisional menangkap ikan tuna dengan hanya menggunakan pancing.  Tidak ada armada tangkap yang besar di sini.  Yang ada hanya kapal kayu nan kecil.  Kecil bila dibandingkan dengan ukuran tuna ekor kuning yang menjadi target mereka.  Ajaib memang bisa menyaksikan proses penangkapan mereka.  Tonton saja di sini.  

Karimunjawa
            Project bawah air terakhir di tahun 2013 kemarin adalah updating stock foto & video bawah air dari Taman Nasional Karimunjawa yang dimiliki oleh Kementrian Pariwisata & Perekonomian Kreatif RI.
            Memotret Karimunjawa adalah tantangan.  Di sini tidak ada biota eksotis seperti whale shark, manta ray, ataupun penyu yang berukuran besar.  Mungkin biota-biota itu ada di Karimunjawa, tapi yang pasti adalah tidak mudah untuk menemukan mereka.  Kalau dianalogikan dengan fotografi darat, memotret Karimunjawa adalah seperti memotret di taman dekat rumah.  Sementara tempat seperti Raja Ampat atau Nabire adalah memotret Bromo – objek (atau subjek) foto nya sudah ada di sana.
            Seperti biasa, ya kita harus mencari sudut-sudut fotografis yang menarik.  Ohya, untung pula saya ditemani oleh editor Imaji Bumi yang juga penyelam – Malvin Adinoegroho.  Jadilah Malvin model dari foto-foto saya.  Ohya, untuk video bawah air – Wahyu Mulyono kembali memperkuat tim Imaji Bumi.  Dia turun gunung setelah kita magangkan di Kompas TV.  He he he..
            Anyway, untuk foto-foto bawah air Karimunjawa bisa dilihat di sini  atau di Flickr saya
Dan trailer video bawah air dari Karimunjawa dapat ditonton di sini

            Demikianlah perjalanan tahun 2013 yang lalu.  Di tahun 2014 ini, Imaji Bumi akan mengadakan pelatihan Underwater Video Making course, bekerjasama denga SAE – Jakarta.  Mungkin trailer ini bisa memberikan gambaran.
             
Cherios..


Tuesday, November 19, 2013

19 November

-->
Tak terasa hari ini genap satu tahun sudah, anakku datang dan kemudian pergi lagi.   Embun Jiwa – nama putra pertama kami.  Masih segar dalam ingatanku, 19 November tahun lalu terasa seperti hari kemarin.  Untuk 4 jam, saya dan Anti adalah sepasang orang tua.

Saya dan Anti dari awal memutuskan untuk berbagi cerita akan anak kami – Embun.  Namun memang baru sekarang saya sanggup untuk bercerita.

Embun dideteksi mengalami kelainan di usia kehamilan 5 bulan.  Hari itu kami masih dengan semangat melangkah ke RSIA YPK – Menteng untuk memeriksakan kandungan Anti.  Segala sesuatu berubah ketika obgyn kami – dr A berkata, “Ada sesuatu di atas perut janin ibu, dan saya tidak tahu itu apa”.  Ketika seorang dokter mengatakan dia tidak tahu, itu sungguh-sungguh berarti sesuatu.  Setelah menuliskan surat rujukan kepada salah satu koleganya, obgyn kami menjelaskan akan kemungkinan yang ada, yakni apakah bayi kami menderita Omphalocele  atau pun Gastroschisis.  Dengan tenang dia menjelaskan kepada kami berdua, tetapi kemudian dilanjuti dengan, “…Kami di dunia kedokteran, diperbolehkan untuk mengakhiri kandungan hingga usia janin 22 minggu…”.  Sebuah kalimat yang berarti di kepala saya sebagai “anak anda sangat parah & tidak bisa disembuhkan”.  Kalimat hukuman mati.

Kami pulang berpelukan.
Sesampainya di rumah, tentu saja kami segera menyelidiki prognosis (dugaan penyakit) dokter: apa pula itu Omphalocele ataupun Gastroschisis.  Percayalah:  internet bisa berubah menjadi musuh nomor satu pada kondisi seperti ini.  Hati kami runtuh ketika melihat foto-foto akan bayi Omphalocele & Gastroschisis serta ulasan akan kedua kelainan tersebut.
Keesokan paginya saya langsung memaksa keberuntungan kami untuk bisa mendapatkan jadwal USG 4D dengan dokter selebritis yang direkomendasikan oleh obgyn kami.  Alhamdulillah, kami mendapatkan jadwal di keesokan hari nya.

Hari itu adalah hari Jumat.  Imaji Bumi akan mengadakan buka puasa bersama.  Abi datang dari Jeddah dan akan bergabung ke acara buka puasa bersama Imaji.  Kawan-kawan lama Imaji Bumi juga sangat antusias dalam menyambut bukber Imaji.  Namun saya malah tunggang langgang untuk bisa segera sampai Klinik Moegni dimana kami akan melakukan USG 4D.  Dan kami pun akhirnya bisa melakukan USG 4D.  Hampir satu jam kami di dalam ruang dr B,  ia menerangkan secara detil akan kondisi janin kami.  Dari sang dokter ini lah kami mendapatkan keterangan bahwa Embun menderita Gastroschisis, bukan Omphalocele.  Namun kembali dia berkata mirip seperti perkataan dr A, “…kami diberikan ijin untuk mengakhiri kandungan, bla bla bla…”.  Sudah dua dokter, mental kami terguncang.  Dia melanjutkan, “Mohon untuk diceritakan dulu kepada semua keluarga, karena kalian akan membutuhkan dukungan mereka, apapun keputusannya”.  “Dan bila kalian memutuskan untuk memelihara kehamilan ini, carilah RS dengan fasilitas NICU & dokter bedah anak yang terbaik”, lanjutnya.  Dan itu lah yang kami lakukan.

Singkat cerita, setelah kami mensurvey banyak RS dan menginterview dokter bedah anak, kami memutuskan untuk melakukannya di RSIA Harapan Kita.  Dr G dari RSIA Harapan Kita – ketika kami mengutarakan bahwa janin kami menderita Gastroschisis, langsung berkata “besok akan kami rapatkan dengan tim dokter, lusa mohon datang kembali”.  Sebuah respon yang baik.  Dua hari kemudian kami datang kembali ke Harapan Kita, dan langsung diantar oleh dr G ke fasilitas NICU.  Di sana sudah menanti dokter perinatal yang akan menangani di ruang NICU.  Ia pun mengajak saya tour fasilitas NICU, dan menjelaskan segala sesuatunya.  Salut untuk RSIA Harapan Kita – bukan untuk fasilitas yang mereka miliki, tetapi akan profesionalisme mereka.

Gastroschisis adalah cacatnya dinding perut janin – meninggalkan lubang di sebelah pusar, mengakibatkan isi perut berada di luar badan sang janin.  Penyebabnya tidak diketahui, mungkin karena factor statistik – dimana kejadian gastroschisis sangat langka, yakni 1:5000.  Kadang saya tidak bisa menghindari pertanyaan dalam pikiran: Kenapa harus saya? 

Penanganan Gastroschisis adalah dengan melakukan proses pembedahan – memasukan organ tubuh kembali ke dalam rongga perut, lalu menutupnya.  Terdengar sederhana.  Yang membuatnya tidak “sederhana” adalah proses ini bisa membutuhkan hingga 3x operasi, dan perawatan di NICU hingga 3 bulan.  Kami harus menyiapkan fisik, mental, dan tentunya keuangan kami untuk hal ini.  Saya dan Anti menghitung-hitung berapa biaya yang dibutuhkan, dan angka Rp 240jt muncul.  Kira-kira segitu, bisa kurang, bisa lebih.  Mendapatkan angka ini tidak mudah.  Pihak RS tidak mau terbuka akan ‘daftar harga’ mereka.  Lucu juga.  Perkiraan angka yang lebih valid justru kami dapatkan dari para orang tua yang juga mengalami Gastroschisis.  Mereka berbagi info akan biaya-biaya.  Doa ku untuk para keluarga Gastroschisis.

Anyway,
Sebagai pasangan muda, angka 240juta bukanlah angka yang kecil.  Anti sangat rapuh jiwa nya.  Dia sangat terpukul ketika dia menanyakan perihal jaminan kesehatan dari tempat dia bekerja dan menerima jawaban “…memangnya suami kamu kerja apaan??”.  :)   Dignity-nya terpukul oleh pernyataan yang merendahkan suaminya – saya.  Kami pun bertekad untuk bisa menangani hal ini sendiri. 

Tahun 2007 lalu, saya membeli sebidang tanah di Bogor.  Saya menghubungi sahabat saya untuk membantu dalam menjual tanah itu. 
Saya pun mengutarakan kepada teman-teman Imaji Bumi bahwa saya akan mencari pekerjaan, syaratnya ada dua: 1.  Gaji nya besar banget; atau 2. Fasilitas kesehatannya menjamin pengobatan Embun.
Lalu ketika ex-boss saya di Jerman datang ke Indonesia, kami pun makan malam.  Saya sangat berharap untuk bisa dapat kabar kalau ada posisi yang kosong di sana yang bisa saya isi.  Wuah, mimpi.  :)
Saya melakukan apa pun yang bisa saya lakukan.  Sempat juga saya merasa menyesal telah meninggalkan pekerjaan saya sebelumnya yang bergaji cukup besar.  Pokoknya mental & psikis sangat tergerus pada saat itu.

Akhirnya Embun Jiwa pun lahir di RSIA Harapan Kita, 19 November 2012 – tepat setahun yang lalu, jam 08.30 pagi.  Kondisi nya sangat lemah.  Usus halus yang berada di luar badannya, saling lengket membentuk satu kesatuan bongkahan daging.  Sangat sulit untuk  melakukan operasi.  Rencana “bed-to-bed” tidak bisa dilakukan, Embun harus distabilisasi di NICU terlebih dahulu.  Stabil – sebuah kondisi yang tidak pernah Embun capai.  Akhirnya setelah segenap usaha maksimal dari crew NICU, Embun pergi.

Di Mushala kecil di ruang jenazah Harapan Kita, saya, ayah saya, dan kakak iparku menshalati Embun Jiwa.  Perasaan yang tidak bisa digambarkan ketika kita menshalati anak kita sendiri.
Keluarga di Halim sudah menyiapkan pemakaman untuk Embun.  Saya pun menggendong Embun di dalam Ambulance yang membawa saya ke Halim.  Segala sesuatunya serba dilancarkan, dari lalu lintas Jakarta, hingga cuaca.  Adzan Ashar pun mengiringi Embun memasukin lubang kuburnya.  It was a beautiful funeral.  Hujan baru turun ketika kami semua sudah kembali di rumah. 

Hari ini setahun yang lalu..
Hidup kami berubah.
Embun,
See you on the other side.  :)

Untuk para orang tua gastroschisis, jangan sungkan untuk menghubungi saya atau pun Anti untuk bisa berdiskusi.  Tetap positif, dan doa kami selalu untuk kalian.  Anti di blognya juga membahas akan Gastroschisis, silahkan dibaca: http://brahmanti.wordpress.com/category/gastroschisis/