Catatan 2013
Better late then never. Mumpung masih di bulan Januari.
Tahun
2013 buat saya yang bercita-cita menjadi fotografer & videografer bawah
laut adalah tahun yang lumayan bagus.
Imaji Bumi dipercaya untuk mengerjakan beberapa proyek bawah air – suatu
hal yang sangat berharga.
Sumbawa Barat
Tahun 2013
diawali dengan permintaan Kementrian Kelautan & Perikanan (KKP) RI untuk
membuatkan profil potensi berinvestasi di pulau-pulau kecil di Indonesia. Sebagai awal adalah kawasan Sumbawa
Barat. Sumbawa Barat adalah
kabupaten baru, hasil pemekaran Kab. Sumbawa. Tentunya sebagaimana umumnya kabupaten pemekaran, pasti ada
sumber Pendapatan Asli Daerah yang menggiurkan untuk dinikmati sendiri oleh
daerah itu. Pada kasus Sumbawa
Barat, sumber menggiurkan itu bernama PT Newmont Nusa Tenggara – sebuah
perusahaan tambang emas dari Amerika Serikat. Namun tentunya saya tidaklah membuat rekaman visual akan
dunia pertambangan di kabupaten baru ini.
Tapi saya merekam sebuah gugusan pulau-pulau kecil yang biasa disebut gili di ujung barat sebelah utara dari
P. Sumbawa.
Gili ini bernama
Gili Balu – yang berarti harviah sebagai pulau kecil ‘delapan’. Seperti namanya gugusan pulau kecil ini
terdiri dari delapan pulau. Pulau-pulau
ini masih sangat alami, minim akan sentuhan manusia – kawasan yang sangat
fotogenik. Yang paling terkenal
mungkin adalah Pulau Kenawa. Ada
pula P. Kalong, P. Paserang, P. Namo, P. Belang, P. Kambing, P. Mandiki, dan P.
Ular.
Di Sumbawa
Barat, belum ada dive centre. Jadi kita harus membawa semua hal yang
kita butuhkan untuk menyelam dari Mataram – terutama tabung selam!! Tidak ada compressor di sini.
Baik saya maupun pihak KKP tidak mengetahui orang yang sudah mengetahui dive site di kawasan ini, akhirnya saya
menghubungi bang Marthen Welly – seorang marine biologist yang lama bertugas di
Labuhan Bajo. Bang Marthen
kemudian menghubungkan saya dengan Rinjani Diving Club di Mataram. Mereka sudah terbiasa menjelajahi
perairan Nusa Tenggara Barat untuk keperluan ilmiah. Agak-agak cocok dengan saya.
Dive master dan berperan juga sebagai dive guide saya adalah pak Soel. Beliau adalah instruktur
POSSI-CMAS. Tapi pak Soel datang
ke saya menuju Sumbawa Barat dengan bayangan akan melakukan scientific
diving. Jadi dia kaget juga ketika saya brief untuk melakukan
penyelaman underwater video shooting.
But it was alright, kecuali di beberapa moment dimana dia meninggalkan
saya sendirian di bawah air. Kacau
juga nih pak Soel. Ha ha..
Saya menyelam pula bersama rekan
dari KKP – Arif Miftahul Aziz & Suprianto. Aziz adalah kakak kelas saya di IPB dulu. Satu tahun di atas. Jadi dia lebih seperti teman saya. Setelah beberapa tahun yang lalu saya terakhir
bertemu Aziz di Jerman, saya mendapati Aziz di Sumbawa Barat ini sama seperti pada
tahun-tahun kami belajar di universitas dulu – Aziz yang hiperaktif. Dia sangat bersemangat. Senang saya melihat teman PNS saya
masih memiliki hasrat dalam bekerja.
Tingkah polah Aziz di bawah air membuat perjalanan produksi ini penuh
dengan kegembiraan. Ketika nelayan
local menunjukkan tempat yang katanya berarus kencang dan sering terlihat hiu,
kami malah bersemangat layaknya anak kecil menuju ke lokasi tersebut. Tak lama kemudian, kami pun ber-roller-coaster ria di bawah sana. Dan Aziz tetap dengan busana selamnya
di kampus dulu: celana ¾ dan kaos
oblong. Ha ha..
Beda Aziz, beda pula dengan
Suprianto. Staf Aziz ini adalah
lulusan dari Sekolah Tinggi Perikanan.
Ku pikir dia adalah certified diver, karena memang kemampuan menyelamnya
sudah cukup nyaman. Ternyata dia
belumlah tersertifikasi. Wah,
kacau lagi nih. Tapi Supri cukup bagus kok. Alhamdulillah penyelaman-penyelaman
kami berlangsung aman dan sehat.
Anyway,
video profile potensi investasi pulau-pulau kecil di Sumbawa Barat bisa ditonton
di
sini.
Oh ya, video project dengan KKP ini
sebenarnya juga meliputi kawasan Nusa Kambangan.
Tapi since di Nusa Kambangan tidak ada dive site, karena di
sana perairannya beda karakter, jadi lah video Nusa Kambangan tanpa shot bawah
air.
Tapi kalau ingin melihat
video nya, bisa ditonton di
sini.
IUU Fishing
Desember
2012, saya mendapatkan telepon yang mengejutkan dari Kedutaan Besar Australia
di Jakarta. Rupanya proposal saya
dari tahun 2008, baru sekarang (2013) akan diwujudkan. Sebuah film dokumenter akan Illegal,
Unregulated, & Unreported (IUU) Fisheries. Saya bertemu dengan tim dari Department of Agriculture,
Forestry & Fisheries Australia di Kedutaan Australia. Kami diskusikan lagi konsep
videonya. Akhirnya kami sepakat
untuk mengangkat kisah-kisah inspiratif dalam mengelola alam sehingga meminimalisasi
kegiatan IUU yang merusak di daerah mereka. Cocok dengan gaya saya yang selalu ingin video saya
bernuansa positif.
Dari diskusi itu, kami sepakat
ingin mengangkat kisah akan ekowisata, responsible
fisheries, dan juga kearifan local.
Setelah
melakukan riset, kami akan membuat kisah akan ekowisata di Pemuteran (Bali) –
tempat saya dulu melakukan penelitian untuk skripsi, responsible fisheries di
Wakatobi, dan juga hukum adat Sasi di
Raja Ampat.
Dari
Desa Pemuteran, kami mengangkat kisah restorasi terumbu karang yang dilakukan
masyarakatnya dengan swadaya. Saya
menghubungi Komang Astika – teman lama saya yang sekarang menjadi manajer
pelestarian karang Pemuteran.
Komang meng-update saya akan
perkembangan Biorock di
Pemuteran. Sekarang sudah lebih
dari 80 buah struktur, jauh lebih banyak dari waktu saya melakukan penelitian
di sana. Saya pun berjumpa bu Rani
Morrow-Wuigk dan pak Agung Prana – dua orang inisiator & penggerak
konservasi di Pemuteran. Bu Rani
kemudian membantu saya dalam underwater shoot di sana, sedangkan pak Prana
menjadi salah satu narasumber kunci kami untuk video ini.
Untuk
kisah sukses akan responsible fisheries,
kami mengangkat kegiatan perikana UD Pulau Mas, yang bermarkas di Bali, namun
beroperasi di 18 Provinsi di Indonesia.
Saya diperkenalkan dengan pemilik UD Pulau Mas – Heru Purnomo oleh teman
saya yang bekerja di WWF. Pak Heru sangat supportive akan project
ini. Kami tertarik untuk
mengangkat cerita akan kelompok nelayan Bajo di Wakatobi. Suku Bajo dikenal sebagai perusak
terumbu karang di kawasan laut Sulawesi dan sekitarnya. Sebuah reputasi yang menyedihkan,
mengingat mereka adalah sea gypsy
satu-satunya di dunia yang masih ada.
Nelayan Bajo di kampung Mola Utara ini, menangkap ikan kerapu – yang
notabene adalah ikan karang, dengan alat pancing saja. Memang hasil tangkapannya tidak
sebanyak bila menggunakan bom atau potas, tapi harga premium yang diberikan,
membuat nelayan Bajo ini memilih cara ini. Sebuah logika yang sangat masuk akal, tapi herannya kok sepertinya
tidak terpikirkan oleh banyak orang.
Saya belajar banyak dari pak Heru ini.
Di
Wakatobi kami dibantu oleh teman-teman Sekretariat Bersama WWF-TNC
Wakatobi. Kami menyelam dengan pak
Sugiyanta – koordinator Wakatobi.
Ohya, dive master kami adalah
pak Laode Orba – ranger Taman Nasional Wakatobi yang juga instruktur
selam. Peralatan selam didukung
oleh Mawaddah Dive Center. Cuaca Wakatobi di saat produksi kami di
sana kurang mendukung – hujan setiap saat. Rekan saya yang bertugas shooting darat - Aryanav merasa
frustasi. Ha ha.. Saya ralat:
Aryanav tidak pernah frustasi, dia pusing aja karena tidak mendapatkan gambar
yang diinginkan. Tapi teman
menyelam saya – Anda selalu mengungkapkan kekuatan positive tinking. Dan
dia benar. Di kala sinar mentari sedikit mengintip, tim darat langsung
merangkul kesempatan syuting.
Sementara bagi kami yang menyelam, ternyata cuaca mendung & hujan
malah memberikan peluang buat mengontrol pencahayaan di bawah air. Shot kami jadi benar-benar terasa photographic.
Di
Raja Ampat, kami pergi ke Pulau Kofiau.
Kebetulan di sana akan dilaksanakan upacara tutup Sasi. Sasi adalah hukum adat yang berlaku di
kawasan timur Indonesia, dimana mereka menutup sebagian kecil kawasan mereka
dari kegiatan eksploitatif. Sebuah
konsep konservasi yang telah berlangsung dari zaman nenek moyang mereka.
Raja
Ampat jangan dibayangkan sebagai kawasan yang kecil. Raja Ampat sangatlah luas. Raja Ampat terbentang dari utara (dekat dekat Ternate),
hingga ke selatan (dekat dengan P. Seram). Nah kali ini kami mengawali dengan pergi ke Waisai untuk
mendapatkan stock gambar bawah air yang cantik dari Raja Ampat. Tidak semua kawasan Raja Ampat yang
merupakan surga bawah air. Justru
kebalikannya: sebagian besar
wilayahnya sudah hancur. Hanya
sebagian kecil wilayahnya yang memang masih dalam kondisi baik. Sangat baik. Karena memang kawasan ini ditakdirkan sebagai tempat yang
kaya akan keanekaragaman hayati laut.
Saya kembali ditemani oleh Jacky dari Waisai Dive Resor. Jacky adalah dive guide saya ketika melakukan penelitian di Raja Ampat sekitar 3
tahun lalu bersama rekan-rekan Terangi.
Jacky membawa saya ke titik-titik penyelaman yang merupakan tempat untuk
mengambil daftar stock shot saya.
Memang beda ya, menyelam dengan guide professional – mereka sudah tahu
seluk-beluk kawasannya dengan sangat baik. Kami bertemu dengan sebagian besar kebutuhan gambar
saya. Pari Manta saja yang absen
di lokasi janjian kita
Setelah
mendapatkan stok gambar cantik dari Raja Ampat, baru kami meluncur menuju P.
Kofiau. Sebenarnya Sasi sempat
“mati” di kawasan ini. Namun, The
Nature Conservancy melihat bahwa hukum adat ini sejatinya sesuai dengan prinsip
konservasi modern. Mereka kemudian
memulai menghidupkan kembali hukum adat ini – salah satunya adalah di P.
Kofiau.
Di
Papua, wilayah laut bukanlah daerah bebas akses – tetapi daerah yang
bertuan. Wilayah-wilayah laut
tertentu dimiliki oleh klan-klan keluarga tertentu pula. Salah satu klan keluarga di P. Kofiau
akan menutup sebagian kecil lautnya untuk di-Sasi. Kami pun tidak
menyia-nyiakan kesempatan ini. Di
sana kami ditemani oleh mas Purwanto – coordinator untuk kawasan kepala burung
Papua TNC dan juga oleh Aryo Handono – manajer komunikasi TNC di kepala burung
Papua. Mereka semua sangat
semangat dalam melakukan pekerjaannya.
Iri juga saya melihatnya. J
Setelah
merekam prosesi tutup Sasi di Kofiau, tidak lama kemudian Aryo datang dengan
informasi bahwa di Misool akan ada upacara buka Sasi.
Kesempatan yang juga langka.
Di upacara ini lah kita akan melihat seberapa efektifnya
penutupan suatu kawasan dari kegiatan eksploitasi.
Tim kami pun kembali ke Raja Ampat.
Kali ini ke ujung selatan Raja
Ampat.
Video buka Sasi di Misool
bisa ditonton di
sini.
Video
akan IUU Fishing ini belum lah final.
Kondisi hubungan bilateral antara pemerintah Australia dan Republik
Indonesia turut mempengaruhi video ini.
Mari kita lihat saja kelanjutannya.
Tapi untuk bocoran, draft-nya bisa
ditonton di
sini.
Sea Delight’s Video
Pembuatan
film dokumenter tentang IUU Fishing itu membawa kita bersinggungan dengan
teman-teman di WWF, dimana mereka memiliki sebuah program yang bernama Seafood
Saver. Program yang menarik. Setelah hampir semua pihak bergerak di
tataran grass root, dalam hal ini berarti adalah nelayan, sekarang mereka
bergerak di tataran para pelaku bisnis – para perusahaan perikanan. WWF meyakinkan mereka bahwa bila mereka
melakukan bisnis mereka dengan cara yang ramah lingkungan, hal itu akan
memberikan mereka keuntungan yang lebih besar dan tentunya lebih
“berkelanjutan” pula.
Salah
satu perusahaan yang bergabung ke dalam program ini adalah Sea Delight – sebuah
perusahaan importir ikan dari Amerika Serikat. Mereka membeli ikan kerapu & kakap dari Luwuk (Sulawesi
Tengah) serta ikan Tuna dari Alor (Nusa Tenggara Timur).
Luwuk
merupakan salah satu pintu masuk ke kawasan Sulawesi Tengah. Di sebelah utara ‘potongan’ pulau
Sulawesi ini, terbentang Teluk Tomini – dimana di dalamnya terdapat kepulauan
kecil bernama Togean. Sebenarnya
Togean merupakan Taman Nasional, tetapi status ini ditolak oleh masyarakatnya
sehingga keberadaannya hampir bisa dikatakan tidak terasa. Aneh, tapi acap kali terjadi di
Indonesia.
Di
kawasan ini,
destructive fishing seperti bom ikan & penggunaan
sianida terjadi dalam skala massive.
Belajar dari apa yang terjadi di Jawa Timur, Sea Delight mempromosikan
penangkapan ramah lingkungan di daerah ini.
Harga premium – kembali menjadi formulasi ajaib.
Sedikit demi sedikit, hal ini mulai
bisa diterima oleh kelompok nelayan di kawasan ini.
Video tentang upaya memerangi destuctuve fishing di Luwuk
bisa ditonton di
sini.
Di
Luwuk, kami membagi dua tim – tim darat & tim bawah air. Tim darat diperkuat oleh Aryanav –
produser andalan Imaji Bumi, dan juga Panji Wijaya – sahabat dan juga
cameraperson berbahaya. Mereka
mengamankan jalan cerita utama dari kisah ini. Mereka meliput kegiatan di pabrik pengemasan ikan, kampung
nelayan, serta mengikuti alor pengeboman ikan. Cadas memang bagian mereka. Mereka lah yang membentuk cerita dari video ini.
Sementara tim bawah air, terdiri
dari saya seorang. Sendirian
saja. Fiuhh…
Di sini saya menyelam bersama
dengan Black Marlin Dive Resor. Alhamdulillah saya mendapatkan sambutan
yang hangat dari crew & juga para tamu resor ini. Saya adalah satu-satunya orang Indonesia yang menjadi tamu
resor pada saat itu. Ajaib! Di negeri sendiri, tapi saya harus
berbahasa asing.
Black
Marlin dimiliki dan dijalani oleh Crispin – seorang bule Inggris yang telah
tinggal di sana dari tahun 80-an.
Dia menikah dengan gadis Togean, dan kemudian tinggal di sana secara
permanen. Sampai akhirnya anak
mereka memasuki usia pendidikan SD, akhirnya Crispin membawa keluarganya untuk
tinggal di Bali – hanya untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas
baik. Sedih juga mendengar kisah Crispin. Awalnya dia membawa anaknya untuk
bersekolah di Gorontalo, tapi dia mendapati pendidikan di sana kurang memuaskan
standar baku dirinya. Lalu dia
membawa anaknya untuk bersekolah di Makassar, masih kurang bagus juga. Baru akhirnya dia menyekolahkan anaknya
di Bali. Saya tidak tahu akan
detil lebih jauh bagaimana Crispin menilai kualitas pendidikan di setiap
tempat, tapi yang pasti memang kualitas pendidikan di Indonesia belum lah
merata. Pekerjaan rumah bagi kita
semua untuk bisa membuat pendidikan kita pada level yang sama di seluruh wilayah
NKRI ini.
Anyway,
Di
Togean ini saya menyelam bersama para turis lainnya. Waktu itu adalah high
season di Togean. Jadi kapal
& alat selam menjadi sangat terbatas.
Tapi tidak mengapa, saya jadi bisa mengobrol dengan lebih banyak
orang. Daripada bengong
sendirian.
Hal yang sama terjadi juga di
Alor. Saya terpaksa menyelam
dengan para turis. Alhasil, gambar
saya selalu “bocor” dengan keberadaan para penyelam ini. Sulit untuk mendapatkan adegan dimana
para ikan berenang-renang tanpa ditemanin manusia – kondisi normal mereka.
Perihal
perikanan di Alor, nelayan Alor memang secara tradisional menangkap ikan tuna
dengan hanya menggunakan pancing.
Tidak ada armada tangkap yang besar di sini.
Yang ada hanya kapal kayu nan kecil.
Kecil bila dibandingkan dengan ukuran
tuna ekor kuning yang menjadi target mereka.
Ajaib memang bisa menyaksikan proses penangkapan mereka.
Tonton saja di
sini.
Karimunjawa
Project
bawah air terakhir di tahun 2013 kemarin adalah updating stock foto & video bawah air dari Taman Nasional
Karimunjawa yang dimiliki oleh Kementrian Pariwisata & Perekonomian Kreatif
RI.
Memotret
Karimunjawa adalah tantangan. Di
sini tidak ada biota eksotis seperti whale
shark, manta ray, ataupun penyu yang berukuran besar. Mungkin biota-biota itu ada di
Karimunjawa, tapi yang pasti adalah tidak mudah untuk menemukan mereka. Kalau dianalogikan dengan fotografi
darat, memotret Karimunjawa adalah seperti memotret di taman dekat rumah. Sementara tempat seperti Raja Ampat
atau Nabire adalah memotret Bromo – objek (atau subjek) foto nya sudah ada di
sana.
Seperti
biasa, ya kita harus mencari sudut-sudut fotografis yang menarik. Ohya, untung pula saya ditemani oleh
editor Imaji Bumi yang juga penyelam – Malvin Adinoegroho. Jadilah Malvin model dari foto-foto
saya. Ohya, untuk video bawah air
– Wahyu Mulyono kembali memperkuat tim Imaji Bumi. Dia turun gunung setelah kita magangkan di Kompas TV. He he he..
Anyway,
untuk foto-foto bawah air Karimunjawa bisa dilihat di
sini atau di
Flickr saya.
Dan trailer video bawah air dari
Karimunjawa dapat ditonton di
sini.
Demikianlah
perjalanan tahun 2013 yang lalu.
Di tahun 2014 ini, Imaji Bumi akan mengadakan pelatihan Underwater Video
Making course, bekerjasama denga SAE – Jakarta.
Mungkin
trailer ini bisa memberikan gambaran
.
Cherios..