Wednesday, October 29, 2008

AROUSED

Last week I visited Seribu Islands. I was accompanying my best friend – Beginer Subhan to lobby several parties for research purpose. For me personally, my mission was for silahturahim. It was my first visit after Eid Mubarak to Seribu Islands.

I took Begin to meet Pak May – a pioneer in corals farming. Pak May always amazed me. For him, “alam terbentang menjadi guru” – he learn from the nature. He laughs at us when he knows who put the artificial reefs at the reef banks for some reasons. Yea.. yea.. yea.. stupid me. He pointed out us a place suitable place for artificial reefs if we want to relocate those.

I was amazed when Pak May explain me how to change corals’ color. Also how to make corals stop kill each other, and of course how to grow different species in one single reef. Cooooool, huh? I never think of it. Yes you are right: I’m not smart, but I know smart people. ☺
Pak May also teach Begin how to transplant soft corals – something that Begin crazy about.
Begin give idea to write scientific paper with Pak May as the author. IT IS his invention. There are so many cases where the locals have the knowledge and the foreigners claimed it as if that is his own invention.

My head was fully loaded with research designs.
Arrrgggh.. it aroused me so much.

Sunday, October 19, 2008

HARI-HARI DI KEPULAUAN SERIBU

Kepulauan Seribu selalu merupakan tempat istimewa buat saya. Sedikit romatis sebetulnya. Hal ini terjadi sekitar 9 tahun yang lalu, September 1999, hari dimana aku pertama kali jatuh cinta. Jatuh cinta kepada laut.

Izinkan saya untuk mengenang kembali.
Hari itu adalah hari selasa, hari dimana kami sampai ke Pulau Semak Daun. Kali pertama saya ke sebuah pulau kecil, bukan hanya sekedar pergi ke pantai. Itu adalah LPT (Latihan Perairan Terbuka) saya yang pertama – kunjungan ke laut “sebenarnya” semenjak saya menyandang predikat sebagai mahasiswa jurusan ilmu kelautan.
Bahkan sebelum mendarat ke pantai pasir putih Pulau Semak Daun, kami disambut terlebih dahulu oleh seekor penyu hijau. Kemudian terumbu karang pun turut membuatku terpesona di sore harinya. Sebagai anak kota yang tidak pernah pergi ke laut, hal itu sangat memukauku.
Dan setiap kali saya memandang ke belakang, saya menyadari bahwa hari itu adalah satu titik yang merubah hidup saya hingga sekarang ini.

Ada ikatan kuat antara saya dan Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu bahkan bisa dikatakan sebagai halaman belakang rumah saya, sejak saya dulu selalu melakukan praktek lapangan di kepulauan ekstra kecil ini.
Satu titik lainnya dalam hidup saya – yang kemudian juga merupakan titik yang merubah jalan hidup saya, adalah ketika Imran Amin – direktur Telapak pada saat itu meminta saya untuk mengikuti kehidupan nelayan kompresor di Pulau Panggang dan memotretnya. Pada saat itu saya belum pernah memotret bawah air di laut sebelumnya. Pernah saya latihan sekali dengan teman sekelas saya, itupun berakhirnya dengan banjirnya kamera nikonos V sahabat saya itu. ha ha ha..
Kembali kepada penugasan pertama saya untuk fotografi bawah air. Pada saat itu bang Imran cuma berkata,”Ram, ini kamu bawa kamera Telapak. Ini sepuluh rol. Dan ini ongkos kamu ke sana”. Suatu kepercayaan yang tidak akan pernah saya sia-siakan. Jadi disinilah saya sekarang: mengejar mimpi menjadi seorang fotografer bawah air.

Pergilah saya ke Kepulauan Seribu dengan perasaan yang sulit saya gambarkan. Sesampainya di Pulau Panggang, saya tinggal bersama sebuah keluarga – empat bersaudara laki-laki, yang kesemuanya menjadi nelayan kompresor untuk mengambil terumbu karang & ikan hias. Saya tidak akan menyebutkan nama-nama dari empat bersaudara itu – untuk banyak alasan. Saya ingin bercerita tentang anak ketiga dari 4 bersaudara itu yang mana seusia dengan saya. Saya terkejut ketika mengetahui–tanpa bermaksud sombong, kalau dia juga sedang berkuliah di salah satu institusi pendidikan guru di Jakarta. Dan dia sangat mengerti sekali akan dampak dari pengambilan karang secara berlebihan dan penggunaan potassium bagi lingkungan dan juga kesehatan dirinya. Tapi mau apa dikata, dari kegiatan itulah saudara-saudara dia mengumpulkan uang agar ia bisa kuliah. Ya, hanya dia yang bersekolah – bahkan hingga kuliah. Sebetulnya, mungkin penduduk Kepulauan Seribu sudah kenyang dengan penyuluhan-penyuluhan lingkungan hidup dari berbagai macam pihak – pemerintah daerah, lsm, hingga badan PBB. Jadi bisa dianggap bahwa mereka sebetulnya sudah memiliki pengetahuan tentang tetek-bengek pentingnya ekosistem terumbu karang. Jadi apa yang membuat penduduk Kepulauan Seribu tetap melakukan aktivitas merusak-kalau kita mau menggunakan istilah ini? Apakah penyebab hal itu sama dengan penyebab fenomena orang berdasi yang menyetir BMW dan melempar sampah ke jalan tol dari jendela mobilnya? Jadi apa?!

Waktu terus berlalu sejak saat itu. Beberapa teman sekolah saya, kemudian mulai mengajak pemuda-pemudi di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang untuk belajar SCUBA diving. Lalu kami meminta instruktur selam di universitas kami untuk mensertifikasi kawan-kawan di pulau sebagai penyelam SCUBA. Kemudian para pemuda pulau itu pun memulai kiprah mereka sebagai pemandu selam di wilayah perairan Kepulauan Seribu dan pada akhirnya memulai bisnis operator selam di Pulau Pramuka – dari nol hingga memiliki tempat dan peralatan sendiri sekarang ini.
Saya harus memberikan kredit kepada pihak taman nasional dan juga dinas perikanan di Kepulauan Seribu yang terus mendorong adanya penghidupan alternatif bagi orang pulau. Sekarang orang pulau bahkan sudah bisa mengembangkan bisnis wisata mereka sendiri, dan tidak hanya sekedar menjadi pekerja – tetapi juga menjadi pemilik usaha.
Bahkan sekarang untuk bisnis perdagangan karang, di Kepulauan Seribu sudah menyuplai stok terumbu karang dari hasil budidaya. Jalannya memang panjang dan berliku. Namun akhirnya bisa juga mendapatkan pengakuan izin penjualan.

Saya tidak pernah suka dengan perdagangan karang dan ikan hias. Seharusnya orang-orang menikmatinya di alam liar, bukan pada akuarium. Berbeda seperti halnya tanaman di daratan yang relatif dapat bertahan hidup dan tumbuh, terumbu karang dan ikan karang pada akuarium harus secara berkala diganti dengan yang baru – karena pemeliharaannya yang sangaaaaaaat sulit. Sehingga para pemilik akuarium air laut akan terus membeli dan membeli karang dan ikan hias untuk mengisi akuariumnya, membuat pengeksploitasiannya dari alam liar tak akan pernah berhenti atau bahkan hanya untuk sekedar berkurang. Mungkin hitung-hitungan ekonominya akan lebih murah dan memuaskan bila para pemilik akuarium air laut itu mau meluangkan waktu berliburnya dengan menikmati keindahan bawah laut langsung di tempat semestinya – bukan di sebuah akuarium. Dan lagi pula traveling merupakan salah satu bentuk pendidikan, bukan?
Tapi ya dengan adanya regulasi, setidaknya bisnis ini tidak berkembang dengan liar.

Keinginan untuk menjelajahi berbagai tempat dunia ini sangatlah menggebu. Tapi saya tahu bahwa halaman belakang rumah saya selalu menunggu untuk dikenali lebih dalam.