Tuesday, February 17, 2015

CATATAN PAGI 17 FEBRUARI 2015

Lentera seperti biasa bangun sekitar jam 5 pagi.  Udara dingin masih membekap kamar kami.   Dia aktif sendiri, mulai menengok-nengok wajah ibu nya yang masih tidur-tidur ayam setelah subuh.  Lentera masih belum tega membangunkan paksa ibundanya.
Akhir-akhir ini suasana hujan kerap menaungi pagi hari, membuat Lentera tidak bisa menikmati Paman Matahari-nya.  Demikian juga pagi ini – Senin, 16 Februari 2015.  Suasana rintik-rintik dan awan mendung masing menaungi kawasan Halim – daerah kami tinggal, membawa suasana hati yang kelabu pula.  Tapi sebenarnya bukan karena faktor cuaca, akan tetapi karena tayangan televisi yang menyedihkan.

Setelah latihan fisik Lentera: jalan hilir mudik rumah dengan kereta dorongnya, dan juga makan paginya, akhirnya Lentera terlelap tidur pagi.  Biasanya setelah Lentera tertidur, saya segera bergegas siap-siap berangkat ke markas Imaji Bumi.  Tetapi pagi itu saya tertahan oleh tayangan langsung pembacaan keputusan sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan – sebuah kasus yang telah berlangsung beberapa minggu yang menyeret perhatian saya.  Komjen Budi Gunawan yang merupakan calon Kapolri yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo, ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka korupsi.  Detil akan sangkaan ini lumayan panjang lebar juga, saya tidak akan bahas.
Putusan hakim sidang praperadilan yang memenangkan Komjen Budi Gunawan karena alasan dia yang seorang polisi bukanlah “penegak hukum” dan bukan pula pejabar Negara, sehingga penyelidikan KPK tidak memiliki landasan hukum – itu sangat absurd.  Belum lagi pertimbangan bahwa gratifikasi alias sogok-menyogok tidaklah menyebabkan kerugian Negara, sehingga KPK tidak bisa mengusut hal itu, I can’t express my feeling here with words.

Setelah pembacaan putusan itu usai, saya pun berangkat ke Imaji Bumi.  Pikiran saya melayang jauh:  Bagaimana saya & Anti akan membesarkan Lentera.  Harapan akan adanya perubahan di negeri ini, seakan pupus oleh keputusan Presiden RI untuk membiarkan hal ini dan langkah-langkah picisan para politisi dan aparat hukum itu.  Kami tidak ingin Lentera besar dengan menerima bahwa hal-hal seperti menyogok untuk mendapatkan keinginan kita itu adalah wajar; atau juga jalanan Jakarta macet itu memang normal.  Kewarasan yang makin hari makin sulit didapatkan di Indonesia.  Saya dan Anti juga sepakat bahwa kami tidak akan mengeluarkan komentar-komentar stigma kepada Lentera, seperti “wah, tuh polisi lagi cari setoran tuh”, ketika melihat seseorang sedang ditilang.  Atau melarang Lentera berkeinginan masuk Fakultas Hukum dengan alasan petugas hukum itu tidak berkah, seperti yang kakak saya lakukan kepada putrinya.  Atau menjatuhkan semangat Lentera akan berwiraswasta karena dia bukanlah anak pejabat atau orang kaya, sehingga tidak mungkin mendapatkan pinjaman tanpa anggunan bermilyar-milyar rupiah, seperti anak Komjen Budi Gunawan itu.  Kami tidak ingin hal itu terjadi.  Tapi penanaman nilai, tetap memerlukan dukungan lingkungan sekitar kita.  Saya berpikir keras akan bagaimana cara menanamkan nilai integritas, kejujuran, dan kerja keras kepada Lentera nanti – sementara situasi negerinya secara vulgar menunjukkan hal yang sebaliknya.

Lalu, apakah berdoa “aku berlindung kepada Allah SWT dari godaan setan yang terkutuk” sudah cukup?