Tuesday, November 19, 2013

19 November

-->
Tak terasa hari ini genap satu tahun sudah, anakku datang dan kemudian pergi lagi.   Embun Jiwa – nama putra pertama kami.  Masih segar dalam ingatanku, 19 November tahun lalu terasa seperti hari kemarin.  Untuk 4 jam, saya dan Anti adalah sepasang orang tua.

Saya dan Anti dari awal memutuskan untuk berbagi cerita akan anak kami – Embun.  Namun memang baru sekarang saya sanggup untuk bercerita.

Embun dideteksi mengalami kelainan di usia kehamilan 5 bulan.  Hari itu kami masih dengan semangat melangkah ke RSIA YPK – Menteng untuk memeriksakan kandungan Anti.  Segala sesuatu berubah ketika obgyn kami – dr A berkata, “Ada sesuatu di atas perut janin ibu, dan saya tidak tahu itu apa”.  Ketika seorang dokter mengatakan dia tidak tahu, itu sungguh-sungguh berarti sesuatu.  Setelah menuliskan surat rujukan kepada salah satu koleganya, obgyn kami menjelaskan akan kemungkinan yang ada, yakni apakah bayi kami menderita Omphalocele  atau pun Gastroschisis.  Dengan tenang dia menjelaskan kepada kami berdua, tetapi kemudian dilanjuti dengan, “…Kami di dunia kedokteran, diperbolehkan untuk mengakhiri kandungan hingga usia janin 22 minggu…”.  Sebuah kalimat yang berarti di kepala saya sebagai “anak anda sangat parah & tidak bisa disembuhkan”.  Kalimat hukuman mati.

Kami pulang berpelukan.
Sesampainya di rumah, tentu saja kami segera menyelidiki prognosis (dugaan penyakit) dokter: apa pula itu Omphalocele ataupun Gastroschisis.  Percayalah:  internet bisa berubah menjadi musuh nomor satu pada kondisi seperti ini.  Hati kami runtuh ketika melihat foto-foto akan bayi Omphalocele & Gastroschisis serta ulasan akan kedua kelainan tersebut.
Keesokan paginya saya langsung memaksa keberuntungan kami untuk bisa mendapatkan jadwal USG 4D dengan dokter selebritis yang direkomendasikan oleh obgyn kami.  Alhamdulillah, kami mendapatkan jadwal di keesokan hari nya.

Hari itu adalah hari Jumat.  Imaji Bumi akan mengadakan buka puasa bersama.  Abi datang dari Jeddah dan akan bergabung ke acara buka puasa bersama Imaji.  Kawan-kawan lama Imaji Bumi juga sangat antusias dalam menyambut bukber Imaji.  Namun saya malah tunggang langgang untuk bisa segera sampai Klinik Moegni dimana kami akan melakukan USG 4D.  Dan kami pun akhirnya bisa melakukan USG 4D.  Hampir satu jam kami di dalam ruang dr B,  ia menerangkan secara detil akan kondisi janin kami.  Dari sang dokter ini lah kami mendapatkan keterangan bahwa Embun menderita Gastroschisis, bukan Omphalocele.  Namun kembali dia berkata mirip seperti perkataan dr A, “…kami diberikan ijin untuk mengakhiri kandungan, bla bla bla…”.  Sudah dua dokter, mental kami terguncang.  Dia melanjutkan, “Mohon untuk diceritakan dulu kepada semua keluarga, karena kalian akan membutuhkan dukungan mereka, apapun keputusannya”.  “Dan bila kalian memutuskan untuk memelihara kehamilan ini, carilah RS dengan fasilitas NICU & dokter bedah anak yang terbaik”, lanjutnya.  Dan itu lah yang kami lakukan.

Singkat cerita, setelah kami mensurvey banyak RS dan menginterview dokter bedah anak, kami memutuskan untuk melakukannya di RSIA Harapan Kita.  Dr G dari RSIA Harapan Kita – ketika kami mengutarakan bahwa janin kami menderita Gastroschisis, langsung berkata “besok akan kami rapatkan dengan tim dokter, lusa mohon datang kembali”.  Sebuah respon yang baik.  Dua hari kemudian kami datang kembali ke Harapan Kita, dan langsung diantar oleh dr G ke fasilitas NICU.  Di sana sudah menanti dokter perinatal yang akan menangani di ruang NICU.  Ia pun mengajak saya tour fasilitas NICU, dan menjelaskan segala sesuatunya.  Salut untuk RSIA Harapan Kita – bukan untuk fasilitas yang mereka miliki, tetapi akan profesionalisme mereka.

Gastroschisis adalah cacatnya dinding perut janin – meninggalkan lubang di sebelah pusar, mengakibatkan isi perut berada di luar badan sang janin.  Penyebabnya tidak diketahui, mungkin karena factor statistik – dimana kejadian gastroschisis sangat langka, yakni 1:5000.  Kadang saya tidak bisa menghindari pertanyaan dalam pikiran: Kenapa harus saya? 

Penanganan Gastroschisis adalah dengan melakukan proses pembedahan – memasukan organ tubuh kembali ke dalam rongga perut, lalu menutupnya.  Terdengar sederhana.  Yang membuatnya tidak “sederhana” adalah proses ini bisa membutuhkan hingga 3x operasi, dan perawatan di NICU hingga 3 bulan.  Kami harus menyiapkan fisik, mental, dan tentunya keuangan kami untuk hal ini.  Saya dan Anti menghitung-hitung berapa biaya yang dibutuhkan, dan angka Rp 240jt muncul.  Kira-kira segitu, bisa kurang, bisa lebih.  Mendapatkan angka ini tidak mudah.  Pihak RS tidak mau terbuka akan ‘daftar harga’ mereka.  Lucu juga.  Perkiraan angka yang lebih valid justru kami dapatkan dari para orang tua yang juga mengalami Gastroschisis.  Mereka berbagi info akan biaya-biaya.  Doa ku untuk para keluarga Gastroschisis.

Anyway,
Sebagai pasangan muda, angka 240juta bukanlah angka yang kecil.  Anti sangat rapuh jiwa nya.  Dia sangat terpukul ketika dia menanyakan perihal jaminan kesehatan dari tempat dia bekerja dan menerima jawaban “…memangnya suami kamu kerja apaan??”.  :)   Dignity-nya terpukul oleh pernyataan yang merendahkan suaminya – saya.  Kami pun bertekad untuk bisa menangani hal ini sendiri. 

Tahun 2007 lalu, saya membeli sebidang tanah di Bogor.  Saya menghubungi sahabat saya untuk membantu dalam menjual tanah itu. 
Saya pun mengutarakan kepada teman-teman Imaji Bumi bahwa saya akan mencari pekerjaan, syaratnya ada dua: 1.  Gaji nya besar banget; atau 2. Fasilitas kesehatannya menjamin pengobatan Embun.
Lalu ketika ex-boss saya di Jerman datang ke Indonesia, kami pun makan malam.  Saya sangat berharap untuk bisa dapat kabar kalau ada posisi yang kosong di sana yang bisa saya isi.  Wuah, mimpi.  :)
Saya melakukan apa pun yang bisa saya lakukan.  Sempat juga saya merasa menyesal telah meninggalkan pekerjaan saya sebelumnya yang bergaji cukup besar.  Pokoknya mental & psikis sangat tergerus pada saat itu.

Akhirnya Embun Jiwa pun lahir di RSIA Harapan Kita, 19 November 2012 – tepat setahun yang lalu, jam 08.30 pagi.  Kondisi nya sangat lemah.  Usus halus yang berada di luar badannya, saling lengket membentuk satu kesatuan bongkahan daging.  Sangat sulit untuk  melakukan operasi.  Rencana “bed-to-bed” tidak bisa dilakukan, Embun harus distabilisasi di NICU terlebih dahulu.  Stabil – sebuah kondisi yang tidak pernah Embun capai.  Akhirnya setelah segenap usaha maksimal dari crew NICU, Embun pergi.

Di Mushala kecil di ruang jenazah Harapan Kita, saya, ayah saya, dan kakak iparku menshalati Embun Jiwa.  Perasaan yang tidak bisa digambarkan ketika kita menshalati anak kita sendiri.
Keluarga di Halim sudah menyiapkan pemakaman untuk Embun.  Saya pun menggendong Embun di dalam Ambulance yang membawa saya ke Halim.  Segala sesuatunya serba dilancarkan, dari lalu lintas Jakarta, hingga cuaca.  Adzan Ashar pun mengiringi Embun memasukin lubang kuburnya.  It was a beautiful funeral.  Hujan baru turun ketika kami semua sudah kembali di rumah. 

Hari ini setahun yang lalu..
Hidup kami berubah.
Embun,
See you on the other side.  :)

Untuk para orang tua gastroschisis, jangan sungkan untuk menghubungi saya atau pun Anti untuk bisa berdiskusi.  Tetap positif, dan doa kami selalu untuk kalian.  Anti di blognya juga membahas akan Gastroschisis, silahkan dibaca: http://brahmanti.wordpress.com/category/gastroschisis/