Tak terasa hari ini genap satu
tahun sudah, anakku datang dan kemudian pergi lagi. Embun Jiwa – nama putra pertama kami. Masih segar dalam ingatanku, 19 November
tahun lalu terasa seperti hari kemarin.
Untuk 4 jam, saya dan Anti adalah sepasang orang tua.
Saya dan Anti dari awal memutuskan
untuk berbagi cerita akan anak kami – Embun. Namun memang baru sekarang saya sanggup untuk bercerita.
Embun dideteksi mengalami kelainan
di usia kehamilan 5 bulan. Hari
itu kami masih dengan semangat melangkah ke RSIA YPK – Menteng untuk
memeriksakan kandungan Anti.
Segala sesuatu berubah ketika obgyn kami – dr A berkata, “Ada sesuatu di
atas perut janin ibu, dan saya tidak tahu itu apa”. Ketika seorang dokter mengatakan dia tidak tahu, itu
sungguh-sungguh berarti sesuatu. Setelah menuliskan surat rujukan kepada salah satu koleganya,
obgyn kami menjelaskan akan kemungkinan yang ada, yakni apakah bayi kami
menderita Omphalocele atau pun
Gastroschisis. Dengan tenang dia
menjelaskan kepada kami berdua, tetapi kemudian dilanjuti dengan, “…Kami di
dunia kedokteran, diperbolehkan untuk mengakhiri kandungan hingga usia janin 22
minggu…”. Sebuah kalimat yang
berarti di kepala saya sebagai “anak anda sangat parah & tidak bisa
disembuhkan”. Kalimat hukuman mati.
Kami pulang berpelukan.
Sesampainya di rumah, tentu saja
kami segera menyelidiki prognosis (dugaan penyakit) dokter: apa pula itu
Omphalocele ataupun Gastroschisis.
Percayalah: internet bisa
berubah menjadi musuh nomor satu pada kondisi seperti ini. Hati kami runtuh ketika melihat
foto-foto akan bayi Omphalocele & Gastroschisis serta ulasan akan kedua
kelainan tersebut.
Keesokan paginya saya langsung
memaksa keberuntungan kami untuk bisa mendapatkan jadwal USG 4D dengan dokter
selebritis yang direkomendasikan oleh obgyn kami. Alhamdulillah, kami mendapatkan jadwal di keesokan hari nya.
Hari itu adalah hari Jumat. Imaji Bumi akan mengadakan buka puasa
bersama. Abi datang dari Jeddah
dan akan bergabung ke acara buka puasa bersama Imaji. Kawan-kawan lama Imaji Bumi juga sangat antusias dalam
menyambut bukber Imaji. Namun saya
malah tunggang langgang untuk bisa segera sampai Klinik Moegni dimana kami akan
melakukan USG 4D. Dan kami pun
akhirnya bisa melakukan USG 4D.
Hampir satu jam kami di dalam ruang dr B, ia menerangkan secara detil akan kondisi janin kami. Dari sang dokter ini lah kami
mendapatkan keterangan bahwa Embun menderita Gastroschisis, bukan Omphalocele. Namun kembali dia berkata mirip seperti
perkataan dr A, “…kami diberikan ijin untuk mengakhiri kandungan, bla bla
bla…”. Sudah dua dokter, mental
kami terguncang. Dia melanjutkan,
“Mohon untuk diceritakan dulu kepada semua keluarga, karena kalian akan
membutuhkan dukungan mereka, apapun keputusannya”. “Dan bila kalian memutuskan untuk memelihara kehamilan ini,
carilah RS dengan fasilitas NICU & dokter bedah anak yang terbaik”,
lanjutnya. Dan itu lah yang kami
lakukan.
Singkat cerita, setelah kami
mensurvey banyak RS dan menginterview dokter bedah anak, kami memutuskan untuk
melakukannya di RSIA Harapan Kita.
Dr G dari RSIA Harapan Kita – ketika kami mengutarakan bahwa janin kami
menderita Gastroschisis, langsung berkata “besok akan kami rapatkan dengan tim
dokter, lusa mohon datang kembali”.
Sebuah respon yang baik.
Dua hari kemudian kami datang kembali ke Harapan Kita, dan langsung
diantar oleh dr G ke fasilitas NICU.
Di sana sudah menanti dokter perinatal yang akan menangani di ruang
NICU. Ia pun mengajak saya tour
fasilitas NICU, dan menjelaskan segala sesuatunya. Salut untuk RSIA Harapan Kita – bukan untuk fasilitas yang
mereka miliki, tetapi akan profesionalisme mereka.
Gastroschisis adalah cacatnya
dinding perut janin – meninggalkan lubang di sebelah pusar, mengakibatkan isi
perut berada di luar badan sang janin.
Penyebabnya tidak diketahui, mungkin karena factor statistik – dimana
kejadian gastroschisis sangat langka, yakni 1:5000. Kadang saya tidak bisa menghindari pertanyaan dalam pikiran:
Kenapa harus saya?
Penanganan Gastroschisis adalah
dengan melakukan proses pembedahan – memasukan organ tubuh kembali ke dalam
rongga perut, lalu menutupnya.
Terdengar sederhana. Yang
membuatnya tidak “sederhana” adalah proses ini bisa membutuhkan hingga 3x
operasi, dan perawatan di NICU hingga 3 bulan. Kami harus menyiapkan fisik, mental, dan tentunya keuangan
kami untuk hal ini. Saya dan Anti
menghitung-hitung berapa biaya yang dibutuhkan, dan angka Rp 240jt muncul. Kira-kira segitu, bisa kurang, bisa
lebih. Mendapatkan angka ini tidak
mudah. Pihak RS tidak mau terbuka
akan ‘daftar harga’ mereka. Lucu
juga. Perkiraan angka yang lebih
valid justru kami dapatkan dari para orang tua yang juga mengalami
Gastroschisis. Mereka berbagi info
akan biaya-biaya. Doa ku untuk
para keluarga Gastroschisis.
Anyway,
Sebagai pasangan muda, angka
240juta bukanlah angka yang kecil.
Anti sangat rapuh jiwa nya.
Dia sangat terpukul ketika dia menanyakan perihal jaminan kesehatan dari
tempat dia bekerja dan menerima jawaban “…memangnya suami kamu kerja
apaan??”. :) Dignity-nya terpukul oleh pernyataan yang merendahkan
suaminya – saya. Kami pun bertekad
untuk bisa menangani hal ini sendiri.
Tahun 2007 lalu, saya membeli
sebidang tanah di Bogor. Saya
menghubungi sahabat saya untuk membantu dalam menjual tanah itu.
Saya pun mengutarakan kepada
teman-teman Imaji Bumi bahwa saya akan mencari pekerjaan, syaratnya ada dua:
1. Gaji nya besar banget; atau 2.
Fasilitas kesehatannya menjamin pengobatan Embun.
Lalu ketika ex-boss saya di Jerman
datang ke Indonesia, kami pun makan malam. Saya sangat berharap untuk bisa dapat kabar kalau ada posisi
yang kosong di sana yang bisa saya isi.
Wuah, mimpi. :)
Saya melakukan apa pun yang bisa
saya lakukan. Sempat juga saya
merasa menyesal telah meninggalkan pekerjaan saya sebelumnya yang bergaji cukup
besar. Pokoknya mental &
psikis sangat tergerus pada saat itu.
Akhirnya Embun Jiwa pun lahir di
RSIA Harapan Kita, 19 November 2012 – tepat setahun yang lalu, jam 08.30
pagi. Kondisi nya sangat
lemah. Usus halus yang berada di luar
badannya, saling lengket membentuk satu kesatuan bongkahan daging. Sangat sulit untuk melakukan operasi. Rencana “bed-to-bed” tidak bisa dilakukan,
Embun harus distabilisasi di NICU terlebih dahulu. Stabil – sebuah kondisi yang tidak pernah Embun capai. Akhirnya setelah segenap usaha maksimal
dari crew NICU, Embun pergi.
Di Mushala kecil di ruang jenazah
Harapan Kita, saya, ayah saya, dan kakak iparku menshalati Embun Jiwa. Perasaan yang tidak bisa digambarkan
ketika kita menshalati anak kita sendiri.
Keluarga di Halim sudah menyiapkan
pemakaman untuk Embun. Saya pun
menggendong Embun di dalam Ambulance yang membawa saya ke Halim. Segala sesuatunya serba dilancarkan,
dari lalu lintas Jakarta, hingga cuaca.
Adzan Ashar pun mengiringi Embun memasukin lubang kuburnya. It was a beautiful funeral. Hujan baru turun ketika kami semua
sudah kembali di rumah.
Hari ini setahun yang lalu..
Hidup kami berubah.
Embun,
See you on the other side. :)
No comments:
Post a Comment