Lentera seperti biasa bangun
sekitar jam 5 pagi. Udara dingin
masih membekap kamar kami.
Dia aktif sendiri, mulai menengok-nengok wajah ibu nya yang masih tidur-tidur
ayam setelah subuh. Lentera masih
belum tega membangunkan paksa ibundanya.
Akhir-akhir ini suasana hujan kerap
menaungi pagi hari, membuat Lentera tidak bisa menikmati Paman Matahari-nya.
Demikian juga pagi ini – Senin, 16 Februari 2015. Suasana rintik-rintik dan awan mendung
masing menaungi kawasan Halim – daerah kami tinggal, membawa suasana hati yang
kelabu pula. Tapi sebenarnya bukan
karena faktor cuaca, akan tetapi karena tayangan televisi yang menyedihkan.
Setelah latihan fisik Lentera:
jalan hilir mudik rumah dengan kereta dorongnya, dan juga makan paginya,
akhirnya Lentera terlelap tidur pagi.
Biasanya setelah Lentera tertidur, saya segera bergegas siap-siap
berangkat ke markas Imaji Bumi.
Tetapi pagi itu saya tertahan oleh tayangan langsung pembacaan keputusan
sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan – sebuah kasus yang telah berlangsung
beberapa minggu yang menyeret perhatian saya. Komjen Budi Gunawan yang merupakan calon Kapolri yang
diajukan oleh Presiden Joko Widodo, ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka korupsi. Detil akan sangkaan ini lumayan panjang
lebar juga, saya tidak akan bahas.
Putusan hakim sidang praperadilan
yang memenangkan Komjen Budi Gunawan karena alasan dia yang seorang polisi
bukanlah “penegak hukum” dan bukan pula pejabar Negara, sehingga penyelidikan
KPK tidak memiliki landasan hukum – itu sangat absurd. Belum lagi pertimbangan bahwa
gratifikasi alias sogok-menyogok tidaklah menyebabkan kerugian Negara, sehingga
KPK tidak bisa mengusut hal itu, I can’t express my feeling here with words.
Setelah pembacaan putusan itu usai,
saya pun berangkat ke Imaji Bumi.
Pikiran saya melayang jauh:
Bagaimana saya & Anti akan membesarkan Lentera. Harapan akan adanya perubahan di negeri
ini, seakan pupus oleh keputusan Presiden RI untuk membiarkan hal ini dan
langkah-langkah picisan para politisi dan aparat hukum itu. Kami tidak ingin Lentera besar dengan
menerima bahwa hal-hal seperti menyogok untuk mendapatkan keinginan kita itu
adalah wajar; atau juga jalanan Jakarta macet itu memang normal. Kewarasan
yang makin hari makin sulit didapatkan di Indonesia. Saya dan Anti juga sepakat bahwa kami tidak akan
mengeluarkan komentar-komentar stigma kepada Lentera, seperti “wah, tuh polisi
lagi cari setoran tuh”, ketika melihat seseorang sedang ditilang. Atau melarang Lentera berkeinginan
masuk Fakultas Hukum dengan alasan petugas hukum itu tidak berkah, seperti yang
kakak saya lakukan kepada putrinya.
Atau menjatuhkan semangat Lentera akan berwiraswasta karena dia bukanlah
anak pejabat atau orang kaya, sehingga tidak mungkin mendapatkan pinjaman tanpa
anggunan bermilyar-milyar rupiah, seperti anak Komjen Budi Gunawan itu. Kami tidak ingin hal itu terjadi. Tapi penanaman nilai, tetap memerlukan dukungan lingkungan sekitar kita. Saya berpikir keras akan bagaimana cara
menanamkan nilai integritas, kejujuran, dan kerja keras kepada Lentera nanti –
sementara situasi negerinya secara vulgar menunjukkan hal yang sebaliknya.
Lalu, apakah berdoa “aku berlindung kepada Allah SWT dari godaan setan yang terkutuk”
sudah cukup?
No comments:
Post a Comment